Kain Endek Bali adalah salah satu ciri khas kain buatan
hasil karya tangan orang bali. Motif Kain Endek beragam. Beberapa motif
kain endek dianggap sakral. Jadi, hanya boleh digunakan untuk kegiatan-kegiatan
di pura atau kegiatan keagamaan lainnya. Motif itu antara lain, motog patra dan encek saji. Selain ada yang sakral,
ada juga motif kain endek yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu.
Misalnya para raja atau keturunan bangsawan. Dahulu, kain ini memang lebih
banyak digunakan oleh para orang tua dan
kalangan bangsawan. Sedangkan motif yang mencerminkan nuansa alam, biasa digunakan untuk kegiatan
sosial atau kegiatan sehari-hari. Hal ini menyebabkan motif tersebut lebih
banyak berkembang dalam masyarakat. Kain endek mulai berkembang sejak tahun
1985, yaitu pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Gelgel
Klungkung. Kain endek ini kemudian berkembang di sekitar daerah Klungkung,
salah satunya adalah di Desa Sulang. Meskipun kain endek telah ada sejak zaman
Kerajaan Gelgel, akan tetapi endek mulai berkembang pesat di Desa Sulang
setelah masa kemerdekaan. Perkembangan kain endek di Desa Sulang dimulai pada
tahun 1975 dan kemudian berkembang pesat pada tahun 1985 hingga sekarang.
Keragaman
Motif yang dihasilkan lebih banyak menggambarkan flora, fauna, dan tokoh
pewayangan yang sering muncul dalam mitologi-mitologi cerita Bali. Motif
tersebut memberikan ciri khas tersendiri pada kain endek dibandingkan dengan
motif-motif kain pada umumnya.dari nuansa alam, kreasi batik, kreasi warna yag
dipadu padankan yang menghasilkan motif bermutu tinggi, sehingga dari waktu
kewaktu kain endek selalu menjadi pilihan khususnya Kain Endek desa Sulang.
Namun Pada tahun 1996-2006, kain endek sempat mengalami penurunan akibat
dari banyaknya persaingan produksi kain sejenis buatan pabrik yang mulai masuk
ke pasaran. Pada tahun 2007-2012 juga mengalami penurunan. Fluktuasi penurunan
sangat dirasakan pada tahun 2008-2010. Hal tersebut disebabkan bahan
baku yang sulit didapat, harga bahan baku benang yang mahal, dan
kualitas produksi yang tidak sesuai dengan standar produksi kain endek. Namun,
pada tahun 2011 kain endek mulai berkembang kembali akibat dari bahan
baku yang murah serta berkembangnya berbagai macam motif kain endek yang sesuai dengan kebutuhan
pasar. Selain itu pula banyak perusahaan atau instansi menggunakan kain endek
sebagai pakaian atau seragam kantor dan anak sekolah. Kain Endek sudah mulai
diminati sebagai bahan baku pembuatan
busana. Hal ini menjadi salah satu meningkatnya hasil prodak setiap
usaha khususnya di daerah Sulang yang beralamat di Kebupaten Klungkung,
Provinsi Bali. Kualitasnya yang sangat
baik dan motifnya yang beraneka ragam
membuat pencinta kain Endek
semakin bertambah. Di Bali pada
umumnya Kain Endek dipakai sebagai kamen sebagai atribut busana ke Pura,
Namun Kain Endek yang sekarang sudah semakin populer membuat para pengusaha
tekstil berlomba-lomba menghasilkan prodak berkualitas seperti Fashion,
tas,busana, topi, dompet, sepatu dan
lain sebagainya. Pesatnya perkembangan kain tenun ikat khas Bali menjadi
tantangan besar bagi masyarakat Bali untuk menjaga kelestariannya. Masyarakat
Bali juga harus ajeg, tetap memperhatikan aturan penggunaan
kain tersebut. Terutama untuk motif-motif kain endek yang disakralkan, jangan sampai
digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Hal tersebut akan merusak nilai sakral
dan budaya dari kain endek itu sendiri. Kain endek sudah mulai banyak digunakan
masyarakat Bali. Meskipun demikian motif-motif sakral tetap dipertahankan dan
tidak digunakan secara sembarangan. Umumnya kain ini digunakan untuk kegiatan
upacara, kegiatan sembahyang ke pura,
ataupun digunakan sebagai busana modern layaknya baju atau celana yang dapat
digunakan semua kalangan.
Endek Sebagai Industri Berbasis Budaya
Tenun ikat Bali
atau endek merupakan produk budaya yang awalnya jenis kain tersebut hanya
digunakan para orang tua dan kalangan bangsawan, tetapi kini sudah hampir
sebagian besar masyarakat Bali bisa mengenakan, baik untuk upacara besar maupun
sembahyang ke Pura. Endek yang dihasilkan dari industri endek di Bali rata-rata
masih menggunakan motif dan desain tradisonal, yang beberapa diantaranya hanya
digunakan pada saat upacara adat. Kain-kain, yang disebut wastra dalam
adat Bali, berperan sangat penting dalam upacara-upacara adat.
Sejak lahir sampai meninggal, mulai pagi hari ketika matahari
terbit sampai terbenam, orang Bali menjalani kehidupannya dengan berbagai
upacara adat. Warisan budaya ini menyebabkan beberapa jenis kain dianggap
sakral dan berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan. Kain endek pun
beberapa diantaranya memiliki ragam hias yang dihubungkan dengan upacara sakral
atau hanya boleh digunakan oleh orang tertentu. Hal ini menyebabkan, endek
sebagai budaya yang harus dilestarikan namun tidak boleh diperlakukan
sembarangan, karena dapat merusak nilai dari budaya yang harusnya dijaga. endek
merupakan produk unggulan Provinsi Bali.
Peluang ekspor endek cukup besar dilihat dari masih tingginya ekspor tekstil
Indonesia, yaitu menyumbang rata-rata 62 persen per tahun dari total kontribusi
komoditas ekspor dan ekspor tekstil Indonesia
tahun 2008 mencapai 10,83 miliar dollar AS (Kompas, 2009). Desain, motif, dan warna dapat disesuaikan
dengan keinginan pasar, namun kekhasan
endek harus tetap dipertahankan karena unsur budaya lokal yang ada di dalamnya
memberi nilai tambah dan keunikan bagi industri endek lokal.
Selain masalah desain, motif dan warna yang sesuai dengan
selera masyarakat, masalah lain yang di hadapi oleh pelaku industri endek
adalah kurangnya promosi. Masih banyak perajin endek yang menggunakan sistem
pemasaran sederhana, yaitu hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
sebagian besar perajin endek hanya melakukan promosi secara personal. Masih ada
keengganan dari perajin untuk memasarkan produknya dengan media-media elektronik
yang tersedia. Sistem promosi ini menyebabkan peluang pasar yang dapat direbut
oleh para perajin endek menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, keterlibatan
semua pihak dalam mempromosikan endek yang lebih gencar dan melindungi endek
dari penjiplakan, menjadikan endek dapat semakin terangkat.
Proses Pembuatan Kain Endek
Kain Tenun bukan hanya buah
keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk
identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah
tujuan wisata, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata atau sekedar
oleh-oleh khas Bali semata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas ke dunia
fashion yang berbasiskan budaya. Seperti halnya masyarakat pengrajin kain tenun
Bali yang terkenal yaitu di Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem sebagai salah
satu pusat produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas
sehari-hari di hampir semua rumah di desa Sidemen ini melakukan kegiatan
rutinnya sebagai penenun. Hampir semua orang di desa ini bisa menenun, belajar
dari orang tua mereka secara turun temurun.
Proses menghasilkan sehelai kain
tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di
alat perentang, dan helaiannya diikat
dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.
Setelah
pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian
di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun
menjadi kain.
Dulu
penenun memakai benang rangkap dua. Kain
setelah jadi menjadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan
dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga
juga jauh lebih mahal, tetapi
menghasilkan kain yang halus dan lembut. Beberapa kreasi baru telah
diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket begitu juga
dalah hal kreasi pewarnaan. ”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral
kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali
sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya,
misal corak bunga dan daun, Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh
karena itu, dikembangkan pula kreasi
warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar